Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia: Pilar Kritis dalam Memperjuangkan Hak-hak Buruh

Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia: Pilar Kritis dalam Memperjuangkan Hak-Hak Buruh
Oleh:
M Akhwandany Uwar
(Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta & Founder D'Arutala Community)
Dalam proses saya menyelesaikan buku "Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia" karya Satjipto Rahardjo, saya mulai mendalaminya di tengah perbincangan hangat mengenai hak-hak buruh.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya juga memasukkan isu tersebut sebagai bagian dari refleksi atas bacaan saya. Izinkan saya membagikan sebagian hasil pemahaman yang saya peroleh selama menelaah buku tersebut.
Pendidikan hukum sejatinya adalah pendidikan manusia, maksud dalam hal ini adalah pendidikan yang esensial dalam membentuk kesadaran kritis dan moralitas sosial. Dalam konteks dinamika sosial-politik saat ini, terutama terkait isu hak-hak buruh yang menjadi sorotan publik dan subjek kritik terhadap kebijakan pemerintah, pendidikan hukum memegang peranan strategis sebagai alat pembentuk insan hukum yang tidak hanya memahami aturan, tetapi juga mampu memperjuangkan keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Hak-hak buruh seperti upah layak dan perlindungan kerja merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara. Namun dalam praktiknya, banyak kebijakan yang dinilai belum berpihak pada buruh, bahkan cenderung mengabaikan perlindungan hak-hak tersebut.
Situasi ini memicu kritik tajam dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat sipil, yang menyerukan reformasi hukum ketenagakerjaan yang lebih adil dan manusiawi.
Dalam kerangka pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia, pendekatan pendidikan hukum kritis (Critical Legal Education) sangat relevan. Pendekatan ini menekankan pentingnya membekali mahasiswa hukum dengan kemampuan untuk mengkritisi struktur hukum yang ada, terlebih saat hukum digunakan sebagai alat kekuasaan yang menindas kelompok rentan seperti buruh.
Pendidikan hukum harus mampu membangun kesadaran bahwa hukum bukan sekadar norma teknis, tetapi instrumen keadilan yang seharusnya melindungi hak-hak dasar manusia, termasuk para buruh.
Di samping itu, pendekatan pendidikan normatif juga menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dalam pendidikan hukum. Dengan cara ini, pendidikan hukum menjadi sarana pembentukan insan hukum yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga berintegritas dan memiliki empati terhadap kondisi sosial yang dihadapi buruh. Pendidikan hukum yang demikian akan menghasilkan lulusan yang mampu memperjuangkan hak-hak buruh secara efektif dan berkelanjutan.
Dari hasil pembacaan dan refleksi pribadi, saya meyakini bahwa pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia memegang peran kunci dalam perjuangan hak-hak buruh, khususnya di tengah keluarnya kebijakan-kebijakan kontroversial seperti revisi undang-undang ketenagakerjaan yang dianggap melemahkan perlindungan terhadap buruh.
Dalam konteks ini, pendidikan hukum harus melahirkan insan-insan hukum yang kritis, berani, dan berorientasi pada nilai kemanusiaan. Tanpa itu, perjuangan hak-hak buruh akan berjalan lambat dan terfragmentasi.
Oleh karena itu, pendidikan hukum tidak boleh hanya berhenti pada pengajaran norma hukum, melainkan harus dirancang sebagai pendidikan manusia yang berfokus pada keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan pendekatan ini, lulusan hukum dapat menjadi agen perubahan yang mampu menyeimbangkan kepentingan negara, pengusaha, dan buruh demi terwujudnya masyarakat yang adil dan beradab.
Sebagaimana yang saya yakini: Hanya dengan pendidikan hukum yang humanis dan kritis, hak-hak buruh dapat terlindungi secara nyata dan berkelanjutan di tengah dinamika politik dan sosial yang kompleks. (*)
Komentar