Mengenang BJ Habibie Lewat N250 Gatot Kaca
JAKARTA - Duka menyelimuti Indonesia setelah presiden ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie tutup usia. Meskipun demikian, Habibie tetap dan terus akan dikenang lewat karyanya di bidang dirgantara.
Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, itu tutup usia di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (11/9/2019) sekitar pukul 18.05 WIB. Habibie dikenal sebagai 'bapak teknologi' dengan sejumlah karya, termasuk pesawat terbang yang diakui dunia.
Sempat berkuliah di Institut Teknologi Bandung Jurusan Teknik Mesin pada 1954, Habibie melanjutkan studi ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman. Dia menghabiskan waktu selama 10 tahun, dari 1955 hingga 1965, untuk menempuh studi teknik penerbangan di RWTH.
Singkat cerita, Habibie kembali ke Indonesia. Pulang kampung, dia diminta mengembangkan industri penerbangan dalam negeri. Namun Habibie mengajukan syarat, yakni dibiayai dari penjualan sumber daya alam.
"Saya mau dengan persyaratan saya tidak mau dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Saya hanya mau dibiayai dari penjualan sumber daya alam," jelas Habibie dalam acara Presidential Lecture, yang digelar pada Februari 2017.
Setelah itu, lahirlah Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN), yang jadi cikal bakal PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau PTDI. Lewat IPTN, pesawat-pesawat buatan anak bangsa dikembangkan. Hingga pada Agustus 1995, pesawat N250 dengan versi Gatot Kaca mengudara dan menjadi kado ulang tahun kemerdekaan RI ke-50.
"Tahun 1995, Wakil Presiden masih Pak Try (Sutrisno), N250 terbang hadiah bangsa Indonesia 50 tahun merdeka yang saya janji sama Pak Harto," sebut Habibie.
Meski demikian, walau belum memasuki fase produksi atau masih menjalani proses sertifikasi (type certificate) dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub), proyek N250 terpaksa 'dimatikan' pada 1998. Saat itu, Presiden Soeharto atas rekomendasi lembaga kreditor International Monetary Fund/IMF meminta proyek N250 dihentikan. Habibie mengaku sedih.
"Industri strategis di dunia ada tiga yang ditutup: pertama, di Jepang; kedua, Jerman; dan Indonesia waktu reformasi, sedih nggak. Tapi sudah deh itu lebih murah daripada kita perang saudara," ujar Habibie. (MT-06)
Komentar