Kajati Maluku: Tanah Pembangunan PLTMG Namlea Milik Negara
AMBON - Tanah untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) 10 MV di Namlea Kabupaten Buru tahun 2016 yang kini bergulir di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku milik negara.
Karena itu, proses hukum terhadap kasus ini belum bisa menjerat pihak PLN sebagai pembeli.
Sebelumnya Tim Penyidik Kejati Maluku resmi menahan dua tersangka korupsi dana pembelian lahan pembangunan PLTMG Namlea, Kabupaten Buru, Maluku, Senin (31/8/2020).
Kedua tersangka yang ditahan itu yakni Ferry Tanaya pemilik lahan seluas 48.645, 50 hektar dan Kepala Seksi Pengukuran Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Namlea, Abdul Gafur Laitupa.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku, Rorogo Zega mengaku, jika ada bukti tanah tersebut yang disampaikan milik Tanaya maka akan disidik namun karena tanah itu tanah negara seharusnya Tanaya tidak mengambil yang bukan haknya.
"Jadi yang dicurigai begini, setelah uangnya diterima oleh Ferry Tanaya, ada pengembalian ke PLN, karena harganya katanya dimahalkan. Harusnya Ferry Tanaya bicara bahwa uang yang dia terima bukan sebesar itu. Itu kita akan tangani. Sampai hari ini tidak ada tanda-tanda untuk pihak PLN bisa dietapkan sebagai tersangka. Sebab, PLN hanya sebagai orang yang membeli tanah. Dia telah bayar, selesai. Sedangkan Fery, dia menerima uang yang bukan haknya, karena itukan tanah negara," tandas Kajati Maluku, Rorogo Zega kepada wartawan di kantor Gubernur Maluku, Rabu (9/9/2020).
Namun demikian, saat ini kasus tersebut sudah tahap I dan tentunya akan segera dituntaskan.
Sebelumnya, mantan Kepala Desa Namlea, Kabupaten Buru, Talim Wamnebo mengungkan sejumlah kejanggalan terkait kasus korupsi dana pembelian lahan pembangunan PLTMG Namlea, Kabupaten Buru, yang membuat pemilik lahan Ferry Tanaya menjadi tersangka ditahan oleh jaksa.
Lahan untuk pembangunan PLTMG di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru.
“Saya adalah penerima kuasa untuk menjaga dan mengawasi seluruh aset Ferry Tanaya yang berada di Kabupaten Buru karena Tanaya sejak tahun 2003 telah pindah ke Jakarta demi pekerjaannya. Apalagi kondisi ibunya yang sudah berumur 88 tahun yang sampai saat ini masih berdomisili di Namlea sehingga saya yang mengetahui keberadaan keluara tersebut,” ungkap Wamnebo dalam keterangan tertulisnya yang diterima malukuterkini.com, Kamis (3/9/2020).
Dikatakan, sebagai orang yang diberi kuasa oleh Tanaya untuk menjaga dan mengewasi seluruh asetnya yang berada di Kabupaten Buru, maka sudah tentu setiap permasalahan atau urusan yang terkait dengan aset Tanaya pasti dirinya ketahui.
“Sudah pasti saya ketahui dan terlibat didalamnya termasuk pembebasan lahan kepada pihak PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk PLTMG di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru,” katanya
Wamnebo menjelaskan dirinya beteman dengan Tanaya sejak kecil sehingga mengetahui secara pasti lahan seluas 644 ribu meter persegi yang lebih dikenal oleh warga Namlea sebagai kebun kelapa Jiku Besar adalah milik almarhum Zadrach Wacanno (pegawai pengiriman barang pada masa penjajahan Belanda).
Wamnebo yang pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Buru periode 2004 – 2009 ini juga membeberkan kronologis hingga Tanaya memiliki tanah tersebut.
“Sesuai penuturan pendahuku tanah tersebut pada mulai dikuasai oleh pemerintah Belanda (saat masa penjajahan). Pada 9 April 1932 tana tersebut dibeli oleh almarhum Zadrach Wacanno. Bukti pembeliannya adalah akta nomor 19 tertaggal 9 April 1932 (yang masih berbahasa Belanda). Setelah Zadrach Wacanno meninggal dunia, tanah tersebut dikuasai oleh anaknya yang bernama Alfons Wacanno. Setelah Alfons Wacanno meninggal dunia, tanah tersebut dikuasai oleh dua orang anaknya yaitu Ferdinand Wacanno dan Arthur Wacanno. Pada 28 Februari 1985, dihadapan notaris Ahmad wasim Darwis di Karawang, Ferdinand Wacanno dan Arthur Wacanno memberi kuasa menjual kepada Thomas Serhalawan (seorang purnawirawan Polri) yang berdomisili di Namlea dengan Akta Nomor 4 tanggal 28 Februari 1985 untuk menjual tanah tersebut kepada Tanaya. Selanjutnya pada 7 Agustus 1985, tanah tersebut dibeli oleh Tanaya dari Thomas Serhalawan dengan Akta Jual Beli Nomor 14/PPAT/1985 yang ditandatangani oleh U Rada, Pejabat PPAT di Namlea,” jelas Wamnebo.
Ia juga memaparkan kronologis pelepasan hak sebagian tanah tersebut (48.645,50 meter persegi) darei Tanaya kepada PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara.
“Pada awalnya pihak PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara menemui ibu dari Fery Tanaya yang saat itu sudah berumur 87 tahun di Namlea. Saya yang mendampingi ibu dari Tanaya saat berkomunikasi dengan mereka. Waktu tepatnya saya tidak ingat lagi. Saya itu pihak PLN menyampaikan kepada ibu dari Tanaya bahwa bermaksud untuk mebeli sebagian keci lahan di Dusun Jiku Besar untuk pembangunan PLTMG, namun karena tanah tersebut milik Fery Tanaya sehingga ibunya meminta waktu untuk menyampaikannya ke Fery Tanaya. Saat itu juga ibunya langsung menelpon Fery Tanaya untuk menyampaikan maksud dari PLN. Setelah mendengar penjelasa dari ibunya, Tanaya katakana kepada ibunya untuk sampaikan ke PLN bahwa Tanaya tidak mau menjual lahan tersebut walaupun hanya sebagian kecil. Jawaban itu pun langsung disampaikan ibu dari Tanaya kepada pihak PLN yang sementara berada di rumahnya,” ungkapnya.
Wamnebo juga mengungkapkan, Beberapaw aktu berselang pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang salah satu pejabatnya bernama Rusmin mendatangi ibu dari Fery Tanaya di Namlea.
“Saya mereka datang lagi, saya juga ikut mendampingi ibu dari Fery Tanaya. Saat itu pejabat dari PLN yang bernama Pak Rusmin mengatakan bahwa dari hasil eksplorasi yang mereka lakukan selama ini ternyata tidak ada tempat yang cocok untuk pembangunan PLTMG selain areal Kebun Kelapa milik Tanaya. Pejabat PLN tersebut juga mengatakan sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk eksplorasi namun tidak ditemukan tempat yang cocok selain tanah tersebut. Mereka juga katakana ingin membeli lahan tersebut untuk kepentingan umum serata minta tolong kepada ibu dari Tanaya untuk menyampaikan kepada Fery Tanaya. Setelah itu ibunya menelpon Fery dan setelah mendengar penjelasan ibunya, Fery Tanaya menyetujui keinginan PLN untuk membeli lahan tersebut untuk kepentingan umum. Pihak PLN kemudian mengatakan kepada ibu dari Tanaya bahwa mereka akan kembali lagi untuk membicarakan ganti rugi,” ungkapnya.
Sekitar enam bulan kemudian, kata Wamnebo, tim PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara didampingi Kepala Desa Namlea kembali mendatangi kediaman ibu dari Tanaya.
“Saya mereka datang lagi, saya juga yang mendampingi ibu dari Tanaya dalam pertemuan tersebut. Dalam pembicaraan saat itu, pihak PLN mengatakan bahwa biaya ganti rugi yang ditetapkan pihak PLN sebesar Rp 125 ribu per meter persegi sesuai harga pasar. Pihak PLN juga mengatakan harga tersebut merupakan harga bersih yang akan diterima pemilik lahan. Pihak PLN menambahkan bahwa terkait pengurusan dengan pihak BPN serta instansi terkait lainnya dalam rangka balik nama menjadi tanggung jawab PLN termasuk pajak jual beli juga menjadi tanggung jawab pihak PLN. Pembicaraan tersebut langsung disampaikan ibunya kepada Tanaya melalui telepon dan Tanaya menyetujuinya,” kata Wamnebo.
Setelah terjadi kesepakatan, jelasnya, pihak PLN meminta bukti-bukti kepemilikan lahan tersebut dari ibunya Fery Tanaya, yang langsung diserahkan olehnya saat itu juga dalam bentuk copyan. Pihak PLN juga mengatakan kepada ibunya Fery Tanaya bahwa akan berproses terlebih dahulu termasuk verofikasi data/berkas dan setelah itu baru dilakukan ganti rugi.
“Kurang lebih enam bulan kemudian pihak PLN menghubungi Fery Tanaya secara langsung sekaligus memintanya untuk dapat datang ke Namela karena akan dilakukan proses ganti rugi. Tepatnya 26 Juli 2016, bertempat di Kantor Kecamatan Namlea, dilakukan penyerahan ganti rugi yang dihadiri oleh Fery Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara, unsur Muspika Kecamatan Namlea dan pihak Kejaksaan Negeri Namlea. Bahwa setelah dilakukan proses ganti rugi, sejak saat itu pula pihak PLN mulai melakukan aktivitas pembangun PLTMG diatas lahan tersebut yang saat ini kondisi fisiknya ditaksir telah mencapai 80 persen rampung, dimana sarana penunjang lainnya pun sudah berada di lokasi tersebut,” jelasnya.
Wamnebo memaparkan selain lahan milik Fery Tanaya, pihak PLN juga mebeli sejumlah bidang lahan milik warga setempat untuk pembangunan sarana penunjang seperti gardu mini dengan biaya ganti rugi yang sama dengan Fery Tanaya terima yaitu Rp 125 ribu per meter persegi.
“Beberapa pemilik lahan yang lahannya juga dibeli oleh PLN yaitu Junaedi seluas 1.470 meter persegi, Sofyan Umasugi (7.944 meter persegi), Waris bin Thalib (2.414 meter persegi) dan Salim Umagapi (7.942 meter persegi),” rincinya.
Sebagai mantan Kepala Desa Namlea, menurut Wamnebo, ia sangat tahu secara pasti keberadaan lahan-lahan milik warga di Desa Namela terkait bukti-bukti kepemilikannya.
“Menurut saya, tanah milik Fery Tanaya bukti kepemilikannya/alas hak sangat komplit dan tertanggung jawab dibandingkan jika dibandingkan dengan yang dimiliki para pemilik lahan lainnya yang juga dibeli oleh PLN. Untuk itu saya sangat heran, bagaimana mungkin Fery Tanaya bisa ditetapkan sebagai tersangka sedangkan yang lainnya tidak. Saya juga ingin bertanya apakah mungkin seorang pekerja swasta seperti Tanaya dapat ditetapkan sebagai tersangka dugaan tidak pidana korupsi keuangan negara sementara pihak yang mengelola keuangan negara seperti PLN justru tidak tersentuh jerat hukum,” tandasnya.
Ia juga menegaskan, warga Kabupaten Buru sangat membutuhkan kehadirian PLTMG karena merupakan kebutuhan dasar. “Untuk itu saya mintakan kepada pihak-pihak terkait agar jangan melakukan hal-hal yang dapat menghalangi proyek strategis tersebut karena dengan adanya Tanaya sebagai tersangka maka enam petak lahan milknya yang telah diploting oleh PLN untuk pembangunan gardu mini tidak mau lagi dilepaskan oleh Tanaya kepada PLN. Apabila enam petak tanah tersebut tidak dilepaskan maka tidak tertutup kemungkinan pembangunan PLTMG tidak dapat difungsikan sehingga masyarakat Buru sangat dirugikan. (MT-04)
Komentar