Wali Kota Ambon: Kasus Kekerasan Perempuan & Anak Meningkat
AMBON – Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy mengakui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Ambon mengalami peningkatan.
Hal ini diungkapkan Louhenapessy dalam sambutannya saat melantik Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Ambon, di Balai Kota Ambon, Jumat (18/6/2021).
Louhenapessy mengatakan, data dari Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU) 2021 yang dikeluarkan Komnas Perempuan mencatat sejumlah 299.911 kasus. Dan besarkan sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (SIMFONI PPA) selama masa pandemi covid 19 per 29 Februari hingga 27 november 2020 kasus terhadap perempuan dewasa sebanyak 4.477 kasus dengan 4.520 korban.
"Kenaikan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga terjadi di Kota Ambon, dimana berdasarkan laporan kekerasan yang diterima P2TP2A, jumlah kekerasan yang terjadi pada perempuan meningkat dari tahun 2019 sebanyak 40 kasus menjadi 55 kasus dan ditahun 2020 terhitung bulan Juni 2021 sudah sebanyak 24 kasus, sedangkan jumlah kekerasan terhadap anak dari tahun 2020 sebanyak 60 kasus dan per bulan Juni 2021 sudah tercatat sebanyak 29 kasus. Ini hanya kasus yang dilaporkan, padahal pasti banyak kasus-kasus diluar sana yang tidak dilaporkan," ungkapnya.
Dikatakan, bentuk-bentuk kekerasan Kota Ambon yang terjadi lebih banyak didominasi oleh KDRT pada kasus perempuan dan kasus anak lebih didominasi oleh dengan kasus setubuhi anak dibawah umur pelaku inces (keluarga sendiri).
"Dari data diatas memperlihatkan kita kehilangan pekerjaan, kondisi tempat tinggal yang terlalu padat, hingga beban rumah tangga yang menjadi tinggi, mengakibatkan istri menjadi korban pelampiasan kemarahan," katanya.
Menurutnya, penggunaan telepon seluler sebagai media belajar dan pemakaian internet yang lama dan tanpa pengawasan orang tua, seringkali membuat menjadi anak stres karena munculnya hoaks di media yang dapat berpotensi besar kepada anak, mendapatkan kekerasan atau eksploitasi secara online.
Sedangkan kekerasan yang terjadi di rumah saat orang tua belum siap menjadi pembimbing untuk anak di rumah menggantikan peran guru disekolah sehingga kapasitas ibu belum memenuhi syarat, akibat tindakan kekerasan fisik dan psikis pada anak terjadi saat menerima pembelajaran.
"Keadaan ini menjadi prihatin kita semua. Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kompleks dan multisektoral sehingga pencegahan dan penanganannya pun harus melibatkan seluruh element masyarakat melalui panduan yang jelas. Kehadiran P2TP2A sebagai amanat dari peraturan Menteri pemberdayaan perempuan dan anak nomor 6 tahun 2015 tentang sistem pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Diharapkan dapat menghapus segala diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta kesetaraan gender, sehingga hak- hak perempuan dan anak dapat terpenuhi dengan baik mewujudkan perlindungan terhadap korban," jelasnya. (MT-05)