Sekilas Info

Tan Kho Hang Hoat Tepis Tudingan Mafia Tanah & Akta Bodong

Noke Pattiradjawane

AMBON, MalukuTerkini.com -  Tan Kho Hang Hoat yang dituding sebagai mafia tanah dan pemalsuan akta notaris atas proses pembelian tanah seluas 20.000 meter persegi di kawasan Karang panjang  angkat bicara.

Melalui tim kuasa hukumnya, Noke Pattiradjawane membantah adanya tudingan tersebut yang disampaikan oleh Ludya Papilaya/Soplanit salah satu ahli waris Keluarga Soplanit di Negeri Soya.

Dalam keterangan resmi kepada wartawan di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Selasa (10/10/2023), Pattiradjawane membeberkan tudingan mafia yang disampaikan kepada kliennya sangat tidak benar karena faktanya bahwa Ludya Papilaya/Soplanit selaku ahli waris telah menerima biaya ganti rugi lahan sebesar Rp 500.000.000 pada September 2018.

Dalam proses pembayaran dilakukan beberapa tahapan bahkan sudah melalui proses notaris Nicolas Pattiwael saat itu.

" Ludya Papilaya/Soplanit selaku ahli waris telah menerima biaya ganti rugi lahan sebesar Rp 500.000.000 pada September 2018 dari klien saya," jelas Pattiradjawane.

Ia menjelaskan, jika kliennya sudah membayar biaya perkara yang notabene terpisah dan tercatat dalam pembuktian kwitansi  Kuasa Hukum Izak Baltazar Soplanit (almarhum suami Ludya)  sebesar Rp 250.000.000, uang terkait eksekusi perkara sejumlah Rp.210.000.000, serta biaya lain yang tidak tercatat pula dan juga uang tunai sebesar Rp.500.000.000  kepada Ludya Papilaya/Soplanit sebagai pemenuhan ganti rugi atas perjanjian maka dimanakah unsur pidana yang dituding terhadap Than Kho Hang Hoat selaku kliennya.

Pattiradjawane mengungkapkan, tahapan proses melalui notaris jelas bahkan notaris dalam menerbitkan sebuah produk selalu menggunakan SOP baku yang kerapkali menjadi acuan dan  apabila ingin melakukan sebuah peristiwa hukum maka kedua pihak diberi kesempatan menyerahkan dokumen untuk dibuat sebuah perjanjian.

"Pertanyaan berikut terkait dengan tudingan dugaan tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik sesuai rujukan pasal 266 ayat 2 KUHP, siapa yang menjadi korban,?," ungkapnya.

Ia mengatakan,  kliennya adalah pihak II yang berkewajiban membayar dan pihak I adalah Izak Baltasar  dengan demikian akta yang dipersoalkan ini dibuat untuk kepentingan  pada waktu 2014 jangan seolah-olah menghakimi bahwa klien  adalah pembuat produk Notaris dan kemudian memalsukan.

"Proses pembelian dan semua tahapan sudah dilakukan. Klien kami sudah membayar, proses melalui notaris juga telah tetapi sampai sekarang barang milik klien kami yang dibeli belum diterima. Kadi kalau dibilang mafia siapa yang mafia, yang korban siapa? Klien kami sudah beli, seharusnya barang yang dibeli sudah diserahkan bukan balik menuding," katanya

Pattiradjawane meminta agar tidak menanalogi sebuah tudingan mafia tanah kepada kliennya dan langsung menyimpulkan.

"Jadi kalau tudingan dugaan mafia tanah, apakah mereka sudah memiliki analogi memadai kemudian menyimpulkan demikian? Fakta mereka terima pembayaran dari klien saya di 2018, lalu setelah proses eksekusi klien saya dapat apa? Ini sebenarnya mana yang korban dan pelaku?" tandas  pengacara muda ini. (MT-04)

Penulis:

Baca Juga

error: Content is protected !!