Sekilas Info

Hasil Investigasi KNKT: 9 Faktor Berkontribusi di Jatuhnya Lion Air PK-LQP

HASIL INVESTIGASI - Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono (kedua dari kiri) memaparkan hasil investigasi atas jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP pada Oktober 2018 dalam jumpa pers di Kantor KNKT, Jakarta, Jumat (25/10/2019).

JAKARTA - Hasil investigasi atas jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP pada 29 Oktober 2018 diungkap oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Ada 9 faktor yang berkontribusi terhadap tragedi itu.

KNKT memaparkan hasil investigasi itu dalam jumpa pers di Kantor KNKT, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (25/10/2019). Hadir di antaranya Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono dan Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo.

Dalam siaran pers yang dibagikan ke wartawan, KNKT menyimpulkan ada faktor-faktor yang berkontribusi dan saling berkaitan dalam peristiwa jatuhnya Lion Air PK-LQP.

Berikut 9 faktor tersebut:

  1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.
  2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
  3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.
  4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
  5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
  6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.
  7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
  8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat
  9. Beberapa peringatan, berulangnya aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.

"Sembilan hal ini adalah sembilan hal yang terjadi di hari itu saat terjadi kecelakaan. Apabila salah satu dari sembilan hal ini tidak terjadi, mungkin tidak terjadi kecelakaan. Saling terkait satu sama lain dan mengarah ke kecelakaan," kata Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo dalam jumpa pers.

Selain itu, KNKT merilis urutan kejadian pesawat nahas itu, mulai dari saat pesawat ini menunjukkan gejala kerusakan.

26 Oktober 2018

Pesawat terbang Tianjin China ke Manado Indonesia. Pada penerbangan ini, pesawat mengalami kerusakan indikator kecepatan dan ketinggian, untuk pertama kalinya. Pesawat kemudian diperbaiki.

28 Oktober 2018

Sensor kiri Angle Of Attack (AOA) diganti di Denpasar, Bali. Sensor kiri mengalami deviasi 21 derajat.

Alat dipasang, pesawat kemudian berangkat dari Denpasar menuju Jakarta. Ternyata kerusakan indikator berupa deviasi terjadi lagi. Deviasi ini tidak terdeteksi saat pesawat tersebut diuji coba pada kesempatan sebelumnya di Denpasar.

"Deviasi ini mengakibatkan perbedaan penunjukan ketinggian dan kecepatan antara instrumen kiri dan kanan di cockpit, juga mengaktifkan stick shaker dan Mauneuvering Characteristic Augmentation System (MCAS) pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta," demikian kata KNKT dalam rilis pers yang diteken Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono.

MCAS adalah fitur baru pada Boeing 737-8 (MAX) untuk memperbaiki karakteristik angguk (pergerakan pada bidang vertikal) pesawat pada kondisi flap up, manual flight (tanpa autopilot), dan AOA tinggi. Proses investigasi menemukan desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai. Pelatihan dan buku panduan untuk pilot juga tidak memuat penjelasan soal fitur MCAS ini.

Untuk mengatasi aktifnya MCAS itu, pilot memindahkan STAB TRIM switch ke posisi CUT OUT. Sesampainya di Jakarta, pilot melaporkan kerusakan yang terjadi, namun tidak melaporkan soal stick shaker dan pemindahan STAB TRIM switch ke posisi CUT OUT. Alasannya, lampu AOA Disagree (seharusnya menyala saat terjadi anomali) tidak menyala.

29 Oktober 2018

Pesawat lepas landas dari Bandar Udara Soekarno Hatta ke Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang. Flight Data Recorder (FDR) merekam pesawat ini mengalami problem yang sama dengan problem di hari sebelumnya.

Terjadi kondisi IAS Disagree (indikator kecepatan berbeda-beda). Pilot melakukan prosedur non-normal untuk mengatasi masalah ini, namun tidak mengenali kondisi runaway stabilizer.

"Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC berkontribusi pada kesulitan pilot untuk mengendalikan pesawat," kata KNKT.

Pesawat kemudian hilang dari radar pengatur lalu lintas udara setelah pilot melaporkan adanya gangguan pada kendali pesawat, indikator ketinggian, dan indikator kecepatan.

Pesawat mengalami kecelakaan di laut Tanjung Karawang, Jawa Barat. Seluruh penumpang serta awak pesawat tidak ada yang selamat.

10 Maret 2019

Kecelakaan serupa terjadi di Ethiopia, melibatkan Boeing 737-8 MAX yang mengalami kerusakan AOA sensor.

(MT-06)

Penulis:

Baca Juga

error: Content is protected !!