Kuasa Hukum Fery Tanaya Ungkap Kejanggalan Jaksa Tangani Kasus Kliennya
AMBON – Kuasa Hukum Fery Tanaya, Henry Lusikooy mengungkapkan sejumlah kejanggalan yang dilakukan jaksa pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku dalam menangani kasus kliennya.
Walaupun sebelumnya sudah bebas berdasarkan keputusan Sidang Praperadilan, namun Fery Tanaya dibidik jaksa terkait kasus dugaan korupsi PLTMG 10 MW di Namlea, Kabupaten Buru.
“Melihat perkembangan proses kasus ini sejak tahun 2017 – 2020, sejak awal saya sudah merasa ada kejanggalan. Namun setelah Fery Tanaya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejati Maluku dan kami melakukan gugatan praperadilan yang dikabulkan oleh PN Ambon, disitu semakin jelas dan terjawab dugaan saya selama ini bahwa informasi yang bersumber dari Kejati Maluku sebenarnya adalah upaya pembentukan opini publik terhadap perkara ini,” ungkap Lusikooy dalam rilisnya kepada malukuterkini.com, Selasa (12/1/2021).
Dijelaskan, sesuai fakta persidangan praperadilan ketika ditanya siapa pelapor perkara ini, penyidik Kejati Maluku mengakui tidak ada yang melapor (pelapor anonim) penyelidikan dan penyidikan berdasarkan berita media massa.
“Hal ini semakin memperkuat dugaan saya karena sejak perkara tersebut dimunculkan adalah melalui pemberitaan media masa atas pernyataan Kasi Penkum Kejati Maluku, Sammy Sapulette sekitar tahun 2017 – 2020 tuduhan kepada klien saya selalu berubah-ubah. Pada mulanya diekspos bahwa terjadi mark up harga ganti rugi lahan (diatas NJOP). Opini publik dibentuk seakan-akan benar bahwa dalam proses penetapan harga ganti rugi lahan tersebut antara pihak PLN (Didik Sudarmaji) dan Fery Tanaya ada kerjasama/kongkalikong, padahal sesuai keterangan saksi antara Fery Tanaya dan Didik Sudarmaji sama sekali tidak saling kenal dan tidak pernah bertemu namun melalui pemberitaan awal tersebut penyidik Kejati Maluku menjadikannya sebagai dasar untuk memulai aksinya. Tidak lama kemudian muncul lagi pernyataan bahwa adanya mall administrasi, kemudian muncul lagi pernyataan Kasi Penkum bahwa terdapat indikasi korupsi total lost karena salah bayar, kemudian muncul lagi pernyataan bahwa klien saya menjual tanah negara, belum cukup sampai disitu muncul lagi pernyataan pers Kasi Penkum bahwa ditemukan kesalahan Nomor Induk Bidang (NIB) pada peta bidang. Benar – benar menggelikandan bila masyarakat berkesimpulan bahwa pihak Kejati Maluku mencari-cari kesalahan Fery,” jelasnya.
Dikatakan, Tanaya mungkin saja benar dugaan tersebut, namun fakta persidangan praperadilan lainnya membuktikan awalnya penyidik Kejati Maluku tidak mengakui pihak Kejati Maluku terlibat dalam sosialisasi penentuan harga ganti rugi lahan namun setelah saksi memperlihatkan foto/gambar saat Jaksa Agus Sirait dari Kejati Maluku sedang melakukan sosialisasi bertempat di balai desa, dengan tersipu malu penyidik Kejati Maluku mengakui bahwa antara PLN dan Kejaksaan ada MoU dalam hal pembebasan lahan, dan keterlibatan Jaksa Agus Sirait saat itu diutus oleh Kejati Maluku untuk melakukan sosialisasi kepada para pemilik lahan yang akan dibebaskan oleh pihak PLN.
“Dalam sosialisasi tersebut oleh Jaksa Sirait mengatakan bahwa harga Rp. 125 ribu/meter persegi adalah harga ganti rugi atas lahan yang akan dibebaskan pihak PLN berdasarkan penetapan Apraisal yang ditunjuk oleh PLN dan berlaku untuk semua lahan yang termasuk dalam proyek PLTMG. Sesuai fakta tersebut diatas menurut saya sejak awal pihak penyidik sudah mengetahui bahwa sebenarnya tidak ada indikasi mark up tetapi masih terus diberitakan oleh Kasi Penkum bahwa ada indikasi mark up,” katanya.
Yang lebih miris lagi, menurut Lusikooy, pernyataan dari Kajati Maluku, Rorogo Zega pada tanggal 9 September 2020 kepada wartawan di kantor Gubernur Maluku, setelah beberapa hari Fery Tanaya ditahan.
Dengan lantang Kajati Maluku menyatakan Fery Tanaya ditahan dengan tuduhan melakukan mark up/menggelembunkan harga ganti rugi. Menurut Kajati harga tidak semahal itu dan meminta supaya Fery Tanaya buka-bukaan berapa uang yang dikembalikan kepada PLN.
“Terlepas dari status saya sebagai Kuasa Hukum dari Fery Tanaya namun sebagai masyarakat saya sangat menyayangkan pernyataan dari seorang Kajati yang tanpa dibarengi bukti. Jika pernyataan itu masih juga dalam kategori pembentukan opini publik mau dibilang apa, tetapi kalau tidak, maka sangat disayangkan karena jabatan Kajati bukan jabatan sembarangan selain itu bagaimana penilaian masyarakat terhadap kinerja/penegakan hukum dari institusi Kejaksaan yang begitu dibanggakan dan didambakan,” ungkapnya.
Lusikooy mengatakan, di awal perkara ini mencuat ada juga hal aneh, Kejati Maluku membentuk dua tim.
“Satu tim diketuai oleh jaksa Agus Sirait mendampingi pihak PLN melakukan sosialisasi kepada para pemilik lahan agar dapat menerima harga Rp. 125 ribu/meter persegi sesuai penetapan apraisal, namun satu tim lagi yang dipimpin oleh Jaksa Gunawan melakukan penyelidikan terkait harga Rp.125 ribu/meter persegi yang diterima Fery Tanaya adalah mark up sementara itu Kasi Penkum gencar melakukan pemberitaan melalui media masa bahwa adanya mark up dalam kasus ini melalui kongkalikong antara Fery Tanaya dan pihak PLN (Didik Sudarmaji ). Memang aneh dan ternyata hasil kerja yang luar biasa keras itu selama kurang lebih 4 tahun yang menggunakan uang negara yang tidak sedikit untuk biaya operasional hasilnya nihil karena memang yang dicari adalah sesuatu yang tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi. Akhirnya karena sudah terlanjur basah, haluan dirubah lagi dengan modus yang sama (mencari kesalahan) namun dalilnya lain,” katanya.
Dalam perkembangannya, jelas Lusikooy, Kasi Penkum Kejati Maluku juga sempat membuat peryantaan di media bahwa lahan milik Fery Tanaya tersebut sedang dalam sengketa dengan oknum yang bernama Mukadar dan AJB milik Fery TAnaya sudah ditolak pengadilan sehingga tidak boleh dialihkan kepada PLN, karena itu Kejati Maluku menghitung terjadi kerugian negara total lost.
“Bukan saja saya yang tahu tetapi masyarakat Buru pasti tahu bahwa lahan yang Fery Tanaya lepaskan kepada pihak PLN tidak pernah bersengketa dengan pihak manapun, dan entah Pengadilan mana yang sudah pernah menolak/membatalkan AJB Fery Tanaya atas lahan tersebut. Begitu beraninya Kasi Penkum Kejati Maluku membuat pernyatan seperti itu, Bersamaan dengan itu muncul lagi pernyataan Kajati Maluku Rorogo Zega bahwa Fery Tanaya menjual tanah milik negara atau menerima ganti rugi yang bukan haknya. Padahal sesuai fakta persidangan praperadilan pihak Kejati Maluku tidak memiliki bukti kepemilikan negara atas lahan tersebut, tetapi menafsirkan dari pendapat ahli. Hal ini terungkap di persidangan praperadilan di PN
Ambon saat pihak Kejati Maluku hadirkan pihak BPKP sebagai saksi ahli. Ketika ditanyakan perihal perhitungan kerugian negara. Jawaban ahli bahwa tanah yang dibebaskan merupakan tanah milik negara. Ditanya lagi: apakah punya bukti bahwa tanah itu milik negara? ahli BPKP menjawab bahwa tidak punya bukti tetapi dihitung atas permintaan penyidik Kejati Maluku berdasarkan pendapat ahli. Sungguh luar biasa para penyidik yang sangat paham hukum bisa menafsirkan pendapat ahli dan langsung menggugurkan hak yuridis keperdataan seseorang seperti AJB dan dokumen lainnya yang diterbitkan oleh pihak BPN. Apakah dengan pendapat ahli bisa menjadikan objek tanah berubah status kepemilikannya? Dimana peran pengadilan?,” jelasnya.
Dikatakan, ada masyarakat Kabupaten Buru yang bertanya pada saya apakah Fery Tanaya yang sudah membeli kebun kelapa itu melalui prosedur yang menurut mereka benar yaitu melalui PPAT pada tahun 1985 dan sudah dikuasai selama 35 tahun dengan aman ditambah lagi dengan bukti-bukti lainnya dari pihak BPN apakah bisa diabaikan oleh penyidik Kejati Maluku hanya dengan pendapat ahli sebagai alat bukti tunggal.
“Pertanyaan berikut; pada awalnya pihak Kejati Maluku melalui pernyataan Kasi Penkum menyatakan terindikasi adanya unsur kongkalikong antara FT dan pihak PLN (Didik Sudarmaji) dalam penggelembungan harga/mark up, tetapi kenapa saat ini Kejati Maluku tidak pernah menyinggung pihak PLN lagi? Malah pada satu kesempatan ketika Kajati Maluku ditanya oleh wartawan terkait keterlibatan PLN, Kajati Maluku mengatakan bahwa pihak PLN hanya membeli, sampai disitu saja.. Pihak PLN adalah pihak yang mengelola keuangan negara, mana mungkin Fery Tanaya seorang wiraswasta dapat melakukan korupsi keuangan negara secara sendiri? dan yang saya ketahui sejak awal pihak PLN yang sangat ngotot untuk membebaskan lahan tersebut dengan alas an lahan tersebut yang paling ideal untuk pembangunan PLTMG sesuai hasil eksplorasi mereka, pihak PLN yang mengurusi semua proses terkait pelepasan hak termasuk verifikasi bukti kepemilikan. Kenapa Fery Tanaya saja yang ditetapkan sebagai tersangka?,” katanya.
Lusikooy juga memaparkan, pada suatu kesempatan kliennya dijemput di kediaman kliennya di Jakarta oleh pihak PLN Pusat untuk mengikuti rapat dengan bagian hukum pihak PLN Pusat.
“Saat rapat tersebut menurut Fery Tanaya pihak PLN terlihat panik, dan kemudian dijelaskan bahwa Didik Sudarmaji (Pejabat PLN) akan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Maluku terkat ganti rugi lahan PLTMG di Namlea. Setelah Fery Tanaya mendengar penjelasan dari pihak PLN, karena merasa kasihan terhadap pihak PLN, Fery Tanaya meminta kepada pihak PLN untuk membatalkan proses pembebasan lahan tersebut dengan catatan FT akan mengembalikan uang yang telah diterimanya secara utuh tanpa meminta ganti rugi atas sejumlah pohon kelapa yang telah ditebang, tetapi pihak PLN menolaknya dengan alasan bahwa ini proyek strategis untuk kepentingan umum sehingga harus dilanjutkan. Namun mungkin karena doa orang-orang PLN begitu ampuh tiba-tiba nama PLN hilang dari peredaran dan tuduhan berbalik arah kepada klien saya hingga ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan yang bertahap sejak tahun 2017 – 2020 antara lain Pertama, mark up harga diatas NJOP; Kedua, mall administrasi karena AJB tidak dibuat di Notaris tetapi dibuat di Camat yang bukan PPAT; Ketiga, terjadi korupsi total lost karena salah bayar; Keempat, menjual tanah milik negara; Kelima, Adanya kesalahan NIB pada peta yang dibuat oleh petugas BPN. Dapat dibayangkan penegakan Shukum seperti apa yang dipertontonkan oleh penyidik Kejati Maluku
disaat Jaksa Agung dalam arahannya selalu menekankan penerapan hukum harus profesional, berhati nurani, jujur, berintegritas dan pada kesempatan lain Presiden Joko Widodo juga ingatkan kepada para penegak hukum agar jangan ada kebijakan yang dikriminalisasi, di cari-cari,” paparnya.
Lusikooy juga mengungkapkan semua pemilik lahan menerima ganti rugi yang sama yaitu Rp 125.000/meter persegi, hasil sosialisasi pihak Kejati Maluku dan pembayarannya juga disaksikan oleh pihak Kejati, namun kenapa hanya Fery Tanaya saja yang dijadikan tersangka dan ditahan?
“Saat verifikasi bukti kepemilikan yang dilakukan oleh Jaksa Sirait, salah satu pemilik lahan, Said Bin Thalib hanya dapat memperlihatkan Keterangan Jual Beli tahun 1928 (sebelum Indonesia merdeka ) namun bisa menerima ganti rugi yang sama. Kenapa penyidik tidak mengakui AJB Fery Tanaya yang dibuat resmi oleh PPAT tahun 1985 (setelah Indonesia merdeka)? Para pemilik lahan lainnya tidak mempunyai bukti kepemilikan yang sah namun hanya memberikan keterangan bahwa lahannya telah dikuasai sejak turun-temurun. Oleh jaksa Agus Sirait diarahkan agar meminta keterangan dari Kepala Desa saja. Kenapa Fery Tanaya saja yang dijadikan tersangka? Apakah penegakan hukum di negera tercinta ini hanya diperuntukan kepada yang berstatus pengusaha WNI keturunan?,” ungkapnya.
Sebagai seseorang yang bergelut di bidang penegakan hukum, Lusikooy juga mengaku benar-benar sedih dan malu melihat suatu proses penegakan hukum seperti ini.
“Saya perlu menyampaikan permasalahan ini bukan untuk pembenaran atau pembelaan klien saya tetapi untuk diketahuii masyarakat karena klien saya sudah sangat dirugikan dengan permasalahan tersebut terlebih menyangkut harga diri klien saya,” katanya. (MT-04)
Komentar