Sekilas Info

MA Vonis Eks Wali Kota Tual 7 Tahun Penjara

AMBON, MalukuTerkini.com - Majelis Hakim Agung menjatuhkan vonis terhadap eks Wali Kota Tual, Adam Rahayaan dengan pidana selama  7 tahun penjara.

Vonis kasasi Majelis Hakim Agung  dibacakan dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Agung, Dwiarso Budi Santiarto didampingi Hakim Anggota  Agustinus Purnomo Hadi dan H Achmad Setyo Pudjoharsoyo, Senin (4/8/2025).

Mantan walikota Tual merupakan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi cadangan beras Pemerintah (CBP) Kota Tual tahun 2016 - 2018 bersama dengan terdakwa Abbas Apolo Renwarin yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang Rehabilitasi dan Bantuan Sosial Dinas Sosial Kota Tual.

Majelis hakim dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara (Malra).

Hakim menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa Adam Rahayaan tersebut, memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 24/PID.SUS-TPK/2024/PT AMB tanggal 20 November 2024 yang mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ambon Nomor 26/Pid.Sus-TPK/2024/PN Ambon tanggal 7 Oktober 2024 tersebut mengenai pidana yang dijatuhkan dan tanpa dikenakan uang pengganti kepada Terdakwa, menjadi pidana penjara selama 7 tahun.

Selain itu mantan Wali Kota Tual itu juga dihukum dengan pidana denda sebesar Rp 400 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Ajukan Abolisi

Secara terpisah, John Berhitu selaku  kuasa Hukum terdakwa dalam keterangannya mengaku pihaknya akan mengajukan permohonan Abolisi kepada Presiden RI Prabowo Subianto.

“Abolisi akan bakal dilayangkan karena di dalam putusan MA yang memperbaiki putusan PT Ambon kliennya tidak dibebankan uang pengganti  sebagaimana dalam putusan PT Ambon yang menghendaki terpidana Adam Rahayaan dihukum membayar uang pengganti sejumlah Rp 1,8 miliar,” ungkapnya.

Dikatakan, berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Agung tentang Judex Facti dalam penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap terdakwa (Adam Rahayaan)  tidak tepat, karena berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan Terdakwa tidak ada memperoleh/menikmati  kerugian keuangan negara tersebut, sehingga beralasan hukum  terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana tambahan uang pengganti.

"Pertimbangan itulah yang menjadi dasar kami untuk mengajukan permohonan Abolisi ke Presiden Prabowo Subianto," katanya

Berhitu menjelaskan, jika dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana kepada kliennya Adam Rahayaan  karena negara mengalami kerugian, padahal kebijakan yang diambilnya adalah untuk mendistribusikan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) demi memberi makan warga, maka ini membuka ruang argumentasi Abolisi yang kuat, dengan menekankan bahwa,  kebijakan yang dilaksanakan Adam Rahayaan adalah perbuatan administratif atau kebijakan diskresi, bukan tindak pidana korupsi, dan dilakukan dalam rangka memenuhi hak dasar warga negara, yaitu hak atas pangan.

Argumentasi Hukum dan Fakta meliputi:

Pertama, Diskresi Pemerintahan (Kebijakan untuk Kepentingan Rakyat) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:Pasal 22 ayat (1): “Pejabat Pemerintahan dapat menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan tertentu dalam hal peraturan perundang-undangan tidak memberikan pilihan, tidak lengkap, atau tidak jelas”

Maka, tindakan Adam Rahayaan mendistribusikan CBP dalam keadaan darurat pangan atau mendesak, merupakan bentuk diskresi, bukan perbuatan melawan hukum pidana.

Kedua, tujuan tidak untuk memperkaya diri. tidak ada bukti bahwa Adam Rahayaan memperoleh keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.

"Ini juga penting karena sesuai unsur delik Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, jika tidak ada niat memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum, maka pemidanaan menjadi lemah secara substansi," ujarnya.

Ketiga, manfaat sosial dari kebijakan tersebut maka kebijakan justru menguntungkan masyarakat luas, yakni memberikan bantuan pangan kepada warga yang membutuhkan

Sama halnya dengan Berhitu, penegasan itu juga disampaikan oleh Jack Wenno yang juga sebagai   kuasa  Rahayaan menyebutkan,  kerugian negara yang timbul dalam perkara tersebut bukan akibat niat jahat. Mengapa demikian?  Karena kerugian negara akibat administratif, bukan kriminal, kerugian negara yang timbul bukan karena korupsi, melainkan karena kesalahan administratif atau prosedural yang tidak disengaja.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  25/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa “Setiap penyimpangan prosedur tidak selalu berarti perbuatan korupsi jika tidak ada niat jahat (mens rea).”

Kedua soal, Asas Ultimum Remedium dimana jukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium).

Karenanya dalam kasus ini, sanksi administratif atau tanggung jawab jabatan seharusnya cukup.

Selain itu dari sisi aspek kemanusiaan dan kepentingan umum, Adam Rahayaan telah, mengabdi sebagai kepala daerah dengan integritas, tidak memperkaya diri sendiri  yakni bertindak untuk menyelamatkan rakyat dari kelaparan, yang selaras dengan Pasal 28C UUD 1945 (hak atas pangan dan kehidupan layak).

Demikian maka Pelaksanaan pidana justru akan merugikan masyarakat yang dulu dilayaninya.

Berdasarkan seluruh alasan di atas, permohonan diajukan kepada Presiden Republik Indonesia, karena: Presiden memiliki hak prerogatif abolisi berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

Permohonan dilakukan demi, keadilan substantif, Pemulihan kepercayaan publik terhadap hukum, kepentingan kemanusiaan.

"Dengan demikian kami berkesimpulan: Permohonan abolisi dapat didasarkan pada argumen bahwa tindakan Adam Rahayaan tidak pantas dikualifikasi sebagai tindak pidana, karema dilakukan untuk kemaslahatan rakyat, tidak bertujuan memperkaya diri. Kerugian negara terjadi bukan karena kejahatan, melainkan karena niat baik yang tidak sejalan dengan prosedur administratif,” tandas  Wenno. (MT-04)

Penulis:

Baca Juga

error: Content is protected !!