Sekilas Info

Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah PLTMG 10 MW

Kejati Maluku Dinilai Cari Kesalahan Fery Tanaya

TERBENGKALAI - Proyek pembangunan PLTMG 10 MW yang terletak di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru yang terbengkalai hingga saat ini.

AMBON – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku dinilai mencari-cari kesalahan Fery Tanaya sebagai pemilik lahan yang dijadikan lokasi proyek pembangunan PLTMG 10 MW yang terletak di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru

Hal ini diungkapkan praktisi hukum Alvian Lekatompessy dalam keterangannya yang diterima malukuterkini.com, Senin (10/5/2021).

Dikatakan, propaganda pihak Kejati Maluku melalui media masa secara berjilid sejak tahun 2017 – 2020 bahwa terjadi korupsi (mark up) harga tanah sudah terjawab saat sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Ambon beberapa waktu lalu.

“Fakta persidangan ternyata harga ganti rugi tanah yang diterima Fery Tanaya sama dengan pemilik lahan lainnya yaitu Rp. 125.000/meter persegi, dan anehnya  pihak Kejati Maluku sendiri turut serta dalam sosialisasi bagi pemilik lahan lainnya agar dapat menerima harga ganti rugi yang telah ditetapkan tersebut tapi kemudian pihak Kejati menyatakan ada dugaan mark up. Sungguh aneh,” katanya.

Dengan kenyataan ini, menurut Lekatompessy, tentu kepercayaan masyarakat Maluku terhadap institusi Kejaksaan Tinggi Maluku yang selama ini sangat diharapkan sebagai salah satu pilar penegakan hukum di daerah Maluku telah hilang dan dapat dikatakan Korps Adhiyaksa Maluku hilang kepercayaan.

“Setelah dugaan mark up dirasa tidak mengena, pihak Kejati Maluku menggunakan isu baru lagi yaitu telah terjadi salah bayar. Bahwa seakan-akan tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut bukan milik Fery Tanaya tetapi milik pihak lain. Tuduhan ini dipakai berdasarkan dokumen yang disita pihak Kejati Maluku dari pihak BPN Buru terdapat Nomor Induk Bidang (NIB) yang adalah NIB lahan orang lain pada hal  sudah dijelaskan oleh pihak BPN Buru bahwa form yang dipakai oleh petugas BPN pada saat pengukuran adalah form copy paste yang NIB-nya belum dihapus ( ini hanya masalah teknis adminsitrasi) yang semestinya tidak perlu dipermasalahkan karena sudah diklarifikasi juga oleh pihak BPN dan ternyata skenario ini tidak mengena juga  karena saat peninjauan lokasi ternyata tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut adalah milik Fery Tanaya  karena faktanya pihak BPN saat diminta oleh pihak PLN untuk melakukan pengukuran, saat itu pihak PLN telah menempatkan patok pada lokasi yang dibebaskan yang adalah milik Fery Tanaya. Sedangkan lahan/tanah yang NIB-nya dipersoalkan tersebut letaknya jauh dari tanah milik Fery Tanaya yang dibebaskan pihak PLN. Gagal lagi skenario kedua yang dipakai pihak Kejati Maluku,” ungkapnya.

Dari kedua alasan tersebut, kata Lekatompessy, dapat disimulkan pihak Kejati Maluku sedang mencari-cari peluru untuk menembak Fery Tanaya.

“Apakah begini caranya penegakan hukum yang diterapkan oleh suatu institusi penegak hukum dengan cara mencari-cari kesalahan orang,” katanya.

Menurut Lekatompessy, setelah skenario kedua gagal, muncul lagi isu baru bahwa dugaan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada Fery Tanaya karena menjual tanah milik negara.

“Semakin menyedihkan. Faktanya Fery Tanaya membeli tanah tersebut dari ahli waris Zadrach Wacanno pada tahun 1985 melalui Akta Jual Beli yang dibuat oleh Camat Namlea yabg sekaligus sebagai PPAT. Zadrach Wacanno sendiri membeli tanah tersebut dari Pemerintah Belanda pada tahun 1932 melalui Akta Nomor 19 tertanggal 9 April 1932. Menurut Kejati Maluku Rorogo Zega bahwa hak erfpag tidak bisa dipindah tangankan baik kepada ahli waris atau pihak lain bahwa setelah pemegang hak meninggal  maka selesai sudah  hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya  ke negara. Ini entah Kajati menggunakan undang-undang yang mana, jangan sampai dasar hukum yang dipakai ini hanya karena Fery Tanaya membeli dari ahli waris Zadrach Wacanno . Jurus yang dipakai Kajati Maluku telah mengenyampingkan bukti yuridis milik Fery Tanaya berupa  Akta Jual Beli (AJB) serta bukti – bukti pendukung lainnya serta bukti penguasaan fisik sejak tahun 1985 ( 35 tahun). Kajati  mengartikan  tanah yang dikuasai langsung oleh negara sama dengan tanah milik negara/aset negara  sehingga  Kajati langsung merubah stataus tanah/kebun milik Fery Tanaya menjadi tanah milik negara/aset negara untuk memperkuat alasannya bahwa Fery Tanaya telah menjual tanah negara dan kemudian meminta pihak BPKP untuk menghitung kerugian negara yang menurut BPKP telah terjadi kerugian negara,” ungkapnya.

Lekatompessy menjelaskan, negara memberikan kewenangan kepada institusi Pengadilan dan PTUN untuk membatalkan bukti juridis yang diterbitkan oleh pejabat negara yaitu PPAT dan bukan kepada institusi Kejaksaan, apalagi dibatalkan hanya dalam acara konfrensi pers  saat menahan Fery Tanaya hanya Kajati lupa mengetok palu setelah selesai  penjelasannya.

“Kajati secara sepihak langsung menyatakan bahwa AJB Fery Tanaya yang dibuat oleh PPAT batal secara hukum dan langusng menjadikan tanah kebun Fery Tanaya menjadi tanah milik negara/aset negara. Sedangkan yang saya pahami   tanah milik negara/aset negara wajib memiliki sertifikat yang dikeluarkan BPN atas nama Pemerintah Republik Indonedia  cq instansi mana  dan harus sudah tercatat  sebagai aset negara. Namun yang terjadi dalam kasus korupsi PLTMG ini Kajati telah mengambil alih kewenangan institusi Pengadilan dan BPN atau mungkin Kajati Maluku Rorogo Zega telah membuat nomenklatur baru di Maluku yaitu Kejaksaan - Pengadilan – BPN,” jelasnya.

Terkait  pernyataan Kajati Maluku membatalkan AJB milik Fery Tanaya karena yang menjual adalah warisnya setelah pemilik meninggal sesuai penjelasan Kajati saat konfrensi pers, menurut Lekatompessy, hal  ini harus diwaspadai dan dipertanyakan oleh seluruh masyarakat Maluku yang memiliki warisan pendahulunya yang berstatus bekas erfpag. Karena menurut Kajati Maluku Hak Erfpag tidak dapat diwariskan.

“Pertanyaan sederhana ; bagaimana bila orang tua kami memiliki lahan bekas hak erfpag  yang diatasnya terdapat tanaman umur panjang. Apakah setelah orang tua kami meninggal tanah beserta tanaman tersebut langsung menjadi milik  negara dan kami tidak bisa lagi memanfaatkannya? Setahu saya masih banyak  kebun-kebun bekas erfpag di Pulau Buru dan Seram yang masih dimiliki/dikuasai oleh ahli warisnya, termasuk ahli waris yang telah menerima ganti rugi dari pemerintah karena tanahnya dipakai untuk pembangunan proyek pemerintah sejak lama sebelum datangnya Kajati Maluku Rorogo Zega. Awalnya  mereka sangat resah karena takut bernasib sama seperti pengusaha Fery Tanaya, tetapi setelah semua masyarakat melihat fakta akhirnya menjadi lega karena mereka beruntung bukan pengusaha sehingga tidak ada gunanya Kejati Maluku membidik mereka. Salah satu contoh yang saya ketahui dalam proses  ganti rugi lahan untuk Proyek PLTMG 10 MW tersebut, Said Bin Thalib juga menerima ganti rugi dengan harga yang sama dengan yang diterima Fery Tanaya, padahal tanahnya juga bekas erfpag yang dibeli leluhurnya jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1928, dan punyanya Sain Bin Thalib justru pihak Kejati Maluku yang diwakili Jaksa Agus Sirait  yang melakukan verifikasi  dan terlibat dalam proses pembayarannya,” ungkapnya.

Lekatompessy menilai, berdasarkan fakta-fakta tersebut jika penerima ganti rugi bukan selevel pengusaha Fery Tanaya maka proyek PLTMG tersebut pasti sudah dapat dinikmati oleh masyarakat Pulau Buru dan penderitaan masyarakat di Pulau Buru akibat kekurangan listrik sudah teratasi.

Sebagaimana diketahui, kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan PLTMG 10 MW di Kabupaten Buru tahun anggaran 2016 tersebut, saat ini sementara dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Ambon. (MT-04)

Penulis:

Baca Juga

error: Content is protected !!