Kuasa Hukum Beberkan Bukti Fery Tanaya Dikriminalisasi Kejati Maluku

AMBON - Perkara Tindak Pidana Korupsi pengadaan tanah bagi pembangunan PLTMG 10 MW di Pulau Buru yang oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku telah Fery Tanaya sebagai tersangka dan telah ditahan sejak tanggal 26 April 2021 menimbulkan sejumlah keheranan di publik.
“Publik pun bertanya-tanya ada kepentingan apa dibalik perkara ini karena hampir empat tahun masyarakat Maluku telah dipertontonkan dengan suatu tontonan yang sangat menggelikan dan ini dapat saya katakan sebagai kriminalisasi yang berlebihan oleh oknum penegak hukum Kejati Maluku dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi tersebut,” ungkap Kuasa Hukum Fery Tanaya, Henry S Lusikooy dalam keterangannya yang diterima malukuterkini.com, Senin (3/5/2021),
Dikatakan, perkara penyidikan yang telah terjadi kriminalisasi adalah perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum yaitu PLTMG 10 MW (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas) tahun anggaran 2016 di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
“Subjek diktator yang menjalankan kediktatoran dan melakukan kriminalisasi adalah oknum-oknum penyidik Kejati Maluku, yang melakukan penyidikan perkara tersebut, sementara subjek korban dari kediktatoran dan over kriminalisasi adalah klien saya Fery Tanaya. Oknum-oknum penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku, menjalankan tugasnya di wilayah hukum Provinsi Maluku dengan menggunakan topeng penegak hukum untuk mengubah, memaksa suatu perbuatan yang bukan pidana menjadi perbuatan pidana,” katanya.
Ia menjelaskan penyidik menetapkan Fery Tanaya sebagai tersangka dalam proses penanganan perkara masih dalam tahap penyelidikan, sehingga bentuk kediktatorannya adalah penyidik menabrak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017 dan Hukum Acara Pidana serta segala bentuk aturan lain yang telah menetapkan bahwa penetapan tersangka hanya berlaku dalam ruang lingkup penyidikan.
“Untuk memenuhi unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 beserta perubahannya. Penyidik telah mengkriminalisasi aturan guna memenuhi unsur tersebut, antara lain penyidik merekayasa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai asal konversi Barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara”. Bahwa rekayasa yang dimaksudkan adalah karena tanah yang dikuasai langsung oleh Negara sebagaimana yang digaris bawahi tersebut, dikriminalisasi oleh diktator oknum penyidik Kejati Maluku dengan mengubah maknanya menjadi Tanah Milik Negara, padahal arti sebenarnya dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah bukan tanah milik negara sebagaimana yang direkayasa tersebut, melainkan arti sebenarnya adalah tanah yang belum dilekati hak atau disebut tanah negara,” jelasnya.
Lusikooy memaparkan, dasar hukum kebenarannya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah “Tanah Negara” sebagaimana Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
“Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah sebagaimana Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Kata dikuasai oleh Negara bukanlah dimiliki oleh negara, Sebagaimana Undang- Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria, dalam Penjelasan umum Angka Romawi II bagian (2) dijelaskan bahwa bahwa dikuasai dalam pasal tersebut bukanlah berati dimiliki,” ungkapnya.
Ia mengatakan, penyidik merekayasa Fery Tanaya tidak berhak menerima ganti rugi atas tanah karena tanah tersebut adalah tanah aset milik negara, padahal sama sekali secara fakta tanah tersebut belum menjadi aset milik negara karena belum tercatat sebagai aset milik negara dimana belum pernah ada sertipikat hak pakai atau hak pengelolaan atas nama Pemerintah RI, Pemerintah Daerah maupun BUMN yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, Pasal 49 ayat (1) yang berbunyi “Barang Milik Negara/Daerah yang berupa tanah yang dikuasai pemerintah pusat/daerah harus disertipikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah Yang bersangkutan.
“Penyidik juga merekayasa Fery Tanaya tidak berhak menerima ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena tanah tersebut bukan milik Fery Tanaya melainkan milik negara. Bahwa Fery Tanaya tidak berhak menerima ganti rugi adalah kebohongan besar yang dibuat-buat penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku, karena kebenarannya secara hukum adalah Fery Tanaya berhak menerima ganti rugi,” katanya.
Lusikooy merincikan dasar hukum yang mendukung Fery Tanaya berhak menerima ganti rugi yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum, Peraturan presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Ia mejelaskan, penyidik menolak fakta hukum Fery Tanaya telah menguasai tanah selama 30 tahun.
“Penyidik menjadikan Fery Tanaya seorang swasta selaku tersangka Korupsi, padahal yang bersangkutan bukanlah petugas negara yang memiliki kewenangan karena jabatan atau kedudukan sebagaimana unsur Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 beserta perubahannya. Bahkan Fery Tanaya disangkakan dengan Pasal 55 KUHPidana karena turut membantu, sedangkan subjek penanggung jawab perkara pokok yaitu PLN tidak bersalah, sehingga kriminalisasi yang dilakukan oleh penyidik sudah terlalu kontras karena pelaku perkara pokok dalam hal ini pihak PLN tidak terbukti melakukan kejahatan Korupsi dalam pembayaran kepada Fery Tanaya, akan tetapi Fery Tanaya disangkakan membantu kejahatan Korupsi. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang dibantu kejahatannya oleh Fery Tanaya,” jelas Lusikooy.
Menurutnya pembayaran ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan, bukanlah Fery Tanaya seorang diri, melainkan banyak subjek penerima ganti rugi, bahkan ada subjek penerima yang status tanahnya juga masih hak kolonial, akan tetapi kediktatoran penyidik kejaksaan tinggi Maluku sehingga memakai sistem tebang pilih, karena Fery Tanaya seorang pengusaha sehingga yang bersangkutan ingin ditebang sebagaimana pasal 18 (1), (2) dan (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang disangkakan penyidik kepada Fery Tanaya.
Kriminalisasi selanjutnya yang dilakukan penyidik Kejaksaan tinggi Maluku, adalah meminta pihak BPKP Provinsi Maluku melakukan audit kerugian keuangan negara, padahal penyidik kejaksaan sama sekali belum memperoleh bukti sertipikat atau data aset negara yang menyatakan tanah tersebut adalah tanah milik negara. Bahkan hingga saat ini sengketa kepemilikan tanah masih sementara bergulir secara keperdataan di Pengadilan Negeri Namlea,” ungkapnya.
Tempus/waktu pembayaran ganti rugi tanah kepada Fery Tanaya, jelas Lusikooy, adalah tahun 2016 tapi penyidik Kejaksaan Tinggi maluku melakukan penilaian hak atas tanah kepada Fery Tanaya hanya sebatas tahun 1979, dengan mengabaikan peraturan-peraturan tambahan, peraturan perubahan dan peraturan-peraturan pertanahan lain yang telah berkembang sejak tahun 1979 hingga tahun 2016, dimana ada aturan hukum perdata maupun hukum pertanahan yang mengatur tentang penguasaan tanah secara fisik selama 20 tahun dan 30 tahun yang menguntungkan bagi Fery Tanaya.
“Penyidik merekayasa adanya kerugian negara karena penyidik menilai pihak PLN seharusnya tidak perlu membayar untuk memakai tanah tersebut karena dinilai tanah tersebut adalah milik negara, dimana penyidik mengesampingkan aturan perolehan tanah negara menjadi tanah milik negara yaitu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,” jelasnya. (MT-04)
Komentar