Hakim Tolak Praperadilan Ferry Tanaya

AMBON - Hakim Pengadilan Negeri Ambon yang memeriksa dan mengadili perkara praperadilan Nomor: 1/Pid.Pra/2021/PN Ambon, Tanggal 9 Februari 2021, dalam Putusannya hari ini Senin (1/3/2021) menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Fery Tanaya.
Putusan praperadilan disampaikan dalam sidang dipimpin hakim Andi Adha. Pemohon diwakili oleh tim kuasa hukumnya Herman Koedoeboen, Firel Sahetapy, Henry S. Lusikooy. Sedangkan kejati Maluku selaku termohon dihadiri Gunawan Sumarsono Cs
Dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan praperadilan pemohon dan membebankan biaya perkara kepada Pemohon yang jumlahnya nihil.
"Menolak Permohonan Praperadilan Pemohon dan membebankan biaya perkara kepada Pemohon yang jumlahnya nihil," ungkap Hakim.
Sebelumnya dalam sidang tanggal 25 Februari 2021, untuk menghadapi Ahli yang diajukan oleh Kuasa pemohon yaitu, Said Karim yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasannudin Makassar, Kejaksaan Tinggi Maluku sebagai Termohon langsung menghadirkan dua orang pakar hukum yaitu, Reimon Supusepa (Dosen Fakultas Hukum, Universitas Pattimura, Ambon) dan FahribBachmid (Dosen Tetap Hukum Tata Negara, Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi Fakultas Hukum UMI, Makassar, Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam As - Syafi'iyah Jakarta, Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum IAIN Ambon – Maluku.
Dari jalannya persidangan praperadilan, kedua pakar hukum yang diajukan oleh Kejaksaan Tinggi Maluku berhasil dengan sukses mematahkan semua dalil dan pendapat Ahli Pemohon Said Karim. Beberapa poin penting yang dapat dicatat terkait dengan permohonan yang sering dan banyak diajukan oleh pemohon melalui mekanisme praperadilan yaitu:
Dalam perkara praperadilan tidak dikenal azas ne bis in idem berdasarkan:
- Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 21/PUU-XII/2014, Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 42/PUU-XV/2017 yang menolak permohonan dari Pemohon Anthony Chandra Kartawiria, Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 4 Tahun 2016.Karena dalam praperadilan hanya memeriksa tentang manajemen administrasi penanganan perkara dan tidak memeriksa pokok perkara.
- Penyampaian SPDP sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yang mewajibkan Penyidik menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari hanya diperuntukan bagi perkara klacht delict, tidak diperuntukkan bagi tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime.
- Secara filosofis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015 tanggal 11 Januari 2017 tidak dimaksudkan untuk memberikan SPDP kepada Tersangka dugaan Tindak Pidana Korupsi dengan berbagai konsekwensi teknis maupun yuridis, hal tersebut dapat dicermati dengan melakukan penafsiran secara sistematis terhadap ketentuan norma /pasal yang diuji.
- Penerapan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP harus disikapi secara bijak dan proporsional. Esensi diberitahukannya SPDP kepada terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP adalah untuk memberi kesempatan kepada terlapor untuk mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum untuk mendampinginya, yang mana terkait dengan hal tersebut, seorang terlapor tetap dapat menggunakan hak-haknya tersebut, meskipun tanpa adanya pemberitahuan SPDP.
- Putusan Praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagaimana jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 42/PUU- XV/2017 tanggal 10 Oktober 2017 yang hakekatnya merumuskan bahwa “yaitu meskipun alat bukti tersebut tidak baru dan masih berkaitan dengan perkara sebelumnya akan tetapi adalah alat bukti yang telah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat formalitas semata sehingga pada dasarnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya.
Sebagaimana diketahui, praperdalan dilakukan oleh Ferry Tanaya menyusul langkah Kejati Maluku yang kembali menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Tahun 2016 di Namlea, Kabupaten Buru.
Tanaya ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Januari 2021 berdasarkan surat penetapan nomor B-212/Q.1/Fd.2/01/2021.
Ini merupakan kali kedua Tanaya ditetapkan sebagai tersangka setelah sebelumnya pada bulan Juni 2020 ditetapkan tersangka dan ditahan pada 31 Agustus 2020. (MT-04)
Komentar