Ini Tafsir MK Tentang Batas Masa Jabatan Kepala Daerah Terpilih dalam Pilkada 2018
AMBON, MalukuTerkini.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan Tahun 2018 menjabat sampai dengan Tahun 2023 dan Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan Tahun 2019 memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.”
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra terhadap uji UU Pilkada.
Sidang Pengucapan Putusan terhadap Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh tujuh kepala daerah yang mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada ini digelar pada Kamis (21/12/2023).
Adapun ketujuh kepala daerah dimaksud yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Saldi menguraikan bahwa ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara khusus dan norma transisi dalam ketentuan Pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan masih menyisakan persoalan bagi kepada daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan 2018, namun baru dilantik pada 2019 karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada tahun tersebut. Padahal, sambung Saldi, Pasal 201 ayat (4) UU Pilkada secara eksplisit menyatakan adanya kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2019 tidak diatur secara tersendiri dalam kaitannya dengan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada. Akibatnya, kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru diantik pada 2019 seperti dipaksa mengikuti masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang dilantik pada 2018. Padahal mereka (kepala daerah yang dilantik pada 2019) dilantik karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada 2019. Sehingga Mahkamah melihat ada kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon berupa pemotongan masa jabatannya yang bukan disebabkan oleh implementasi norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, melainkan akibat kekosongan norma yang mengatur Pasal 201 ayat (5) dengan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih pada 2018 dan baru dilantik pada 2019 karena menunggu berakhirnya masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah sebelumnya.
Menurut Mahkamah, kata Saldi, dalil para Pemohon terkait dengan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dapat dibenarkan. Namun sepanjang berkenaan dengan perhitungan masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati hari pemungutan suara serentak nasional 2024 sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya, tidak dapat dipenuhi Mahkamah.
“Sebab, dibutuhkan waktu yang cukup untuk menunjuk pejabat kepala daerah agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang berdasarkan penalaran yang wajar dan dipandang cukup yakni satu bulan sebelum hari H pemungutan suara serentak secara nasional yang diberlakukan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 5 tahun sejak pelantikan,” jelas Saldi.
Untuk itu, dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut, Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Mahkamah juga menyatakan Pasal 201 ayat (5) Pilkada yang semula menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.
“Sehingga, norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada selengkapnya menjadi menyatakan, ‘Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024’,” tandas Suhartoyo.
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh memiliki pendapat berbeda.
Ia berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon V, dan Pemohon VII tidak memiliki kedudukan hukum, dan seharusnya dalam amar putusan Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon V, dan Pemohon VII tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), sedangkan Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum. Oleh karena itu, dalam menjawab pokok permohonan, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum dan amar putusan a quo, Daniel sependapat dengan mayoritas hakim konstitusi.
Sebagai informasi, sidang perdana Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 ini digelar di MK pada Rabu (15/11/2023). Kuasa Hukum para Pemohon, Donal Fariz, dalam persidangan menyebutkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada pernah diujikan dan diputus MK (Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021). Namun demikian, dasar konstitusionalitas pengujian permohonan kali ini berbeda dari permohonan yang diujikan sebelumnya. Para Pemohon yang merupakan pejabat kepala daerah yang merupakan produk penyelenggaraan pemilihan secara serentak di dalam masa transisi ini mempersoalkan ruang ketidakpastian hukum dari norma yang diujikan. Para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada berpotensi memotong masa jabatan menjadi tidak utuh lima tahun karena diakhiri pada 2023.
Menurut para Pemohon, akhir masa jabatan mereka sama sekali tidak mengganggu jadwal pemungutan suara serentak nasional yang diselenggarakan pada November 2024 mendatang. Penunjukan pejabat kepala daerah untuk menjalankan pemerintahan sepatutnya dilakukan setelah kepala daerah definitif menyelesaikan masa jabatannya. Dengan demikian, ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara faktual telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang dilantik tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024.” (MT-04)
Komentar